Setiap tanggal 12 Rabi’ul Awal (12 Mulud), di Indonesia diadakan peringatan maulidunnabi Muhammad Saw. Khususnya di kota Surakarta dan Jogjakarta, ada acara khusus yang diselenggarakan oleh Karaton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarto, yang meneruskan berbagai tradisi yang sudah ada semenjak Kesultanan Demak Bintoro berdiri di daerah Demak.
Acara tersebut diawali dengan ditabuhnya gamelan di pagongan yang terletak di halaman Masjid Besar (Agung), selama sepekan sebelum tanggal 12 Rabiul Awal (12 Mulud), ditandai dengan dikeluarkannya Gunungan yang dikeluarkan oleh keraton. Gunungan merupakan wujud rasa syukur Raja kepada Allah Swt., atas limpahan berkah dan rahmat yang diberikan. Gunungan sendiri berisi beraneka makanan, sayuran dan buah-buahan. Gunungan dikeluarkan dari Keraton kemudian dibawa ke Masjid Agung, dan dibagikan kepada masyarakat setelah terlebih dahulu diadakan acara serah terima kepada Pengurus Masjid Agung Surakarta, yang kemudian dengan dipimpin oleh Pengulu Tafsir Anom, semua berdo’a, memohon kepada Allah agar diberi barakah dan keselamatan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Prosesi dilanjutkan dengan pembagian Gunungan di pelataran Masjid Besar kepada masyarakat.
Terkait dengan gamelan, selama kurun waktu penabuhan gamelan tersebut, di Serambi Masjid Agung, khususnya Surakarta diadakan pembacaan kitab Barzanji setelah menjalankan sholat maghrib hingga masuk waktu sholat Isya’, usai sholat Isya’, dilanjutkan dengan pengajian. Di dalam pengajian tersebut, diterangkan tentang hikmah setelah mempelajari sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw.
Selama penabuhan gamelan, di pelataran Masjid Besar banyak para pedagang yang menjajakan aneka ragam dagangan, yang khas dijual di waktu dan tempat tersebut, seperti kinang, endhog kamal (telur asin), Cambuk, Celengan, dan lain sebagainya.
Oleh beberapa tokoh atau mubaligh di kota Surakarta khususnya, aneka barang yang disajikan di rangkaian acara tersebut memiliki makna tersirat yang terkandung didalamnya.
Salah satunya adalah KH. Abdul Rauf yang berasal dari Kampung Baru, Kecamatan Pasar Kliwon, dalam beberapa kesempatan khutbah Jum’at yang disampaikannya, menerangkan tentang Sekaten, yang merupakan suatu kegiatan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw., juga merupakan media dakwah. Sekaten dari Dari kata Syahadatain yang bermakna dua kalimah syahadat, yaitu syahadat tauhid dan syahadat rasul.
Selanjutnya beliau menerangkan bahwa dalam pelaksanaan Sekaten tersebut ada satu barang yang disediakan oleh para pedagang di pelataran Masjid Agung (Besar) yaitu kinang, yang mempunyai makna jidad, rokat, lukat, patso, moji. Kinang merupakan salah satu alat peraga (media), untuk menyampaikan maksud sehingga memudahkan untuk dipahami oleh masyarakat.
Jidad, rokat, lukat, patso, moji merupakan singkatan dari siji syahadat, loro sholat, telu zakat, papat poso, limo haji, jadi dengan kinang secara tidak langsung mengingatkan orang bahwa ada lima hal yang merupakan media pengingat bagi masyarakat bahwa ada lima hal pokok yang ada dalam ajaran Islam, yakni syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji, yang dituntunkan untuk dilaksanakan sesuai dengan syarat dan ketentuan yang sudah ditentukan dalam ajaran Islam.
Beliau menambahkan, hal tersebut diatas diajarkan setelah membaca syahadat dibawah gapuro. Awalnya dituntun satu persatu, sehingga menghapus dosa mereka. Gapura nerasal dari kata ghafura yang berarti ampunan. Sekali membaca syahadat menjadi suci dari dosa-dosa alias dihapus.
Terkait dengan kinang tadi, diterangkannya lebih lanjut bahwa dalam kinang ada berbagai macam unsur. Diantaranya adalah suruh, injet, mbako, gambir, jambe. Suruh merupakan lambang syahadat, Injet merupakan lambang dari sholat, Gambir merupakan lambang dari zakat, Mbako (tembakau) merupakan lambang dari puasa, sedangkan Jambe berfungsi sebagai penggosok gigi setelah nginang sehingga gigi menjadi bersih, mungkin itu melambangkan haji, bagi yang bisa melakukannya.
Terkait dengan telur asin atau endhog kamal, K.H. Solihan MC, salah satu mubaligh di kota Surakarta, pernah menerangkan bahwa telur asin itu mengandung pesan bahwa dalam ber’amal itu dilaksanakan sesempurna mungkin, sesuai dengan tingkatan-tingkatannya.
Muhammad Farhan Masykur, salah seorang pemuda di Kampung Kauman pernah mencoba untuk mengambil pesan tersirat terkait dengan alunan irama gamelan yang ditabuh, yang awalnya pelan, kemudian agak cepat, kemudian cepat sekali, kemudian agak pelan, sampai berhenti. Itu mengandung makna bahwa itulah kehidupan manusia, awalnya lemah, kemudian agak kuat, kemudian agak melemah sampai tidak punya kekuatan lagi.
Oleh: Ust. Suleiman Rahmadi (Pengampu Mapel Sejarah Kebudayaan Islam, MTs NDM Surakarta)